PERKEMBANGAN MORAL DAN AGAMA
ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan moral anak terkait dengan perkembangan cara
berpikir (kognitif) anak. Artinya, semakin tinggi tingkat perkembangan berpikir
anak, semakin besar pula potensi anak mencapai tingkat perkembangan moral yang
lebih baik. Meskipun demikian, belum tentu anak yang mempunyai kecerdasan
tinggi akan dengan sendirinya memiliki tingkat perkembangan moral yang baik
pula. Masih harus pula ditambahkan bahwa tidak berarti anak yang mempunyai
konsep moral tinggi akan mempunyai perilaku moral yang baik pula. Jadi, anak
yang tahu bahwa berlaku licik itu tidak baik tidak dengan sendirinya akan lurus
terus tindakannya.
Namun paling
tidak, anak yang kepekaan moralnya tinggi akan mempunyai potensi lebih besar
untuk bertindak dengan prinsip etis yang lebih jelas, konsisten, dan bermutu.
Selain itu, yang penting diingat adalah bahwa dasar dari moral kita adalah
pengenalan yang benar akan hakekat Allah. Sekalipun kita tidak mungkin dapat
mengenal Allah sampai sedalam-dalamnya, paling sedikit kita perlu membaca
penyataan Diri Tuhan di dalam Alkitab sedemikian rupa sehingga kita mengenal
lebih banyak hakekat kesucian, keadilan, dan kemahakuasaan Allah.
Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah
sesuatu yang menjadi urusan terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang,
agama merupakan jawaban terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan, dan
keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang
harapan-harapannya.
B. Rumusan Masalah
1)
Bagaimanakah tahapan dan
tingkat perkembangan moralitas anak?
2)
Bagaimana perkembangan
pemahaman tentang agama anak?
3) Apa urgensi dan implikasi perkembangan
moral dan agama bagi anak dalam lingkungan keluarga ?
B.
Tujuan
1)
Untuk memahami tahapan dan
tingkat perkembangan moralitas anak
2)
Untuk memahami perkembangan
pemahaman tentang agama anak
3) Untuk mengetahui urgensi dan implikasi perkembangan
moral dan agama bagi anak dalam lingkungan keluarga
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tahapan dan Tingkat
Perkembangan Moralitas Anak
Pertama moral berkembang melalui adopsi terhadap norma-norma
sosial. Dalam pengertian ini anak mengambil norma yang dipakai oleh orang-orang
di lingkungannya menjadi norma dirinya sendiri dengan cara mencontoh. Oleh
karena itu, sebagai seorang pendidik hendaknya menjadi contoh pada muridnya
untuk menanamkan norma yang sesuai. Perkembangan moral dapat juga melalui
pemahaman sosial, artinya pengalaman sosial dapat meningkatkan pemahaman
terhadap norma. Pengalaman sosial ini didapat melalui interaksi dengan
institusi sosial, sistem hukum yang berlaku dan hubungan interpersonal. Dalam
pembahasan ini, ada dua tokoh yang memperkenalkan teori perkembangan moral
tersebut.
Menurut Piaget dalam teori perkembangan moral membagi menjadi
dua tahap, yaitu:
1.
Heteronomous Morality (5 sampai
dengan 10 tahun)
Pada tahap perkembangan moral ini,
anak memandang aturan-aturan sebagai otoritas yang dimiliki oleh Tuhan, orang
tua dan guru yang tidak dapat dirubah, dan harus dipatuhi dengan
sebaik-baiknya.
2.
Autonomous Morality atau Morality
of Cooperation (usia 10 tahun ke atas)
Moral tumbuh melalui kesadaran, bahwa
orang dapat memilih pandangan yang berbeda terhadap tindakan moral. Pengalaman
ini akan tumbuh menjadi dasar penilaian anak terhadap suatu tingkah laku. Dalam
perkembangan selanjutnya, anak berusaha mengatasi konflik dengan cara-cara yang
paling menguntungkan, dan mulai menggunakan standar keadilan terhadap orang
lain.[1]
Selain menurut Piaget tokoh lainnya yang membahas
perkembangan moral adalah Lawrence Kohlberg. Beliau seorang pakar dan praktisi
dalam pendidikan moral mendasarkan pandangannya dari penelitian yang dilakukan
bertahap terhadap sekolompok anak selama dua belas tahun. Dari penelitian ini
dapat dikatakan secara singkat Bahwa perkembangan moral manusia terjadi dalam
tahapan yang bergerak maju dan tarafnya semakin meningkat atau tinggi. Kolhberg
membagi perkembangan moral seseorang dalam tiga tingkat, yaitu: tingkat pra
konvensional, tingkat konvensinal, tingkat pasca konvensional.[2]
1)
Tingkat
Pra Konvensional ( usia 4-10 tahun)
Pada tingkat ini anak
tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya
mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini semata
ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan,
pertukaran dan kebaikan). Tingkatan ini dapat dibagi menjadi dua tahap:
Tahap 1 : memperhatikan ketaatan dan hukum
Akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan
arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata
menghindarkan hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Jika
ia berbuat “baik’, hal itu karena anak menilai tindakannya sebagai hal yang
bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan
moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas. (anak
menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan
tersebut, dan perilaku baik dihubungkan denga penghindaran dari hukuman).
Tahap 2 : memperhatikan pemuasan kebutuhan
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan
kebutuhannya sendiri dan memperalat orang lain. Hubungan antar manusia
dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran
tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata,
tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan
tercermin dalam bentuk: “jika engkau menggaruk punggungku, nanti juga aku akan
menggaruk punggungmu”. Jadi perbuatan baik tidaklah didasarkan karena
loyalitas, terima kasih atau pun keadilan. (perilaku baik dihubungkan dengan
pemuasan keinginan dan kebutuhan tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain).
2.
Tingkat Konvensional (umur10-13 tahun)
Pada tingkat ini anak
hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Anak memandang bahwa hal
tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera
dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata
tertib sosial, melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif
mempertahankan, kecenderungan anak pada tahap ini adalah menyesuaikan
aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau
kelompok yang terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap :
Tahap 3 : memperhatikan citra “ anak baik”
Pada tahap ini orang berpandangan
bahwa tingkah laku yang baik adalah yang menyenangkan atau menolong orang lain
serta diakui oleh orang lain. Orang cenderung bertindak menurut harapan-harapan
lingkungan sosialnya, hingga mendapat pengakuan sebagai “ anak baik”. Tujuan
utamanya, demi hubungan sosial yang memuaskan, maka ia pun harus berperan
sesuai dengan harapan keluarga, masyarakat atu bangsanya. ( anak dan remaja
berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar memperoleh persetujuan
orang dewasa, bukan untuk menghindari hukum).
Tahap 4 : memperhatikan hukum dan peraturan
Pada tahap ini tindakan seseorang didorong oleh
keinginannya untuk menjaga tata tertib. Orientasi seseorang adalah otoritas,
peraturan-peraturan yang ketat dan ketertiban sosial. Tingkah laku yang baik
adalah memenuhi kewajiban, mematuhi hukum, menghormati otoritas, dan menjaga
tata tertib sosial merupakan tindakan moral yang pada dirinya. ( anak remaja
memiliki sikap pasti terhadap wewenang
dan aturan dan hokum harus ditaati oleh semua orang).
3. Tingkat Pasca-Konvensional (usia 13 keatas)
Pada
tingkat ini, orang bertindak sebagai subjek hukum dengan mengatasi hukun yang
ada. Karena hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan
umum, maka jika hukun tidak sesuai dengan martabat manusia hukum dapat
dirumuskan kembali. Tingkat ini terdiri dari 2 tahap, yaitu:
Tahap 5 : memperhatikan hak perseorangan
Remaja
dan dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan
dan patokan sosial, perubahan hukum dan aturan dapat diterima jika diperlukan
untuk mencapai hal-hal yang paling baik, dan pelanggaran hukun dan aturan dapat
terjadi karena alasan-alasan tertentu.
Tahap 6 :memperhatikan prinsip-prinsip etika
Keputusan
mengenai perilaku sosial didasarkan atas prinsip-prisip moral pribadi yang
bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan
kepentingan orang lain, keyakinan terhadap pribadi dan nilai-nilai tetap
melekat, meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk
mengekalkan aturan sosial.
Contoh: seorang suami yang tak beruang boleh jadi
akan mencuri obat untuk menyelamatkan nyawa istrinya dengan keyakinan bahwa
melestarikan kehidupan manusia itu merupakan kewajiban moral yang lebih tinggi
dari mencuri itu sendiri.[3]
B. Perkembangan Pemahaman tentang Agama Anak
Seperti dalam halnya dalam pembahasan moral tadi, agama
juga merupakan fenomena kognitif. Oleh sebab itu, beberapa ahli psikologi
perkembangan (seperti Seifert dan Hoffnung) menempatkan pembahasan tentang
agama dalam kelompok bidang perkembangan kognitif. Bagi remaja, agama memiliki
arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaimana dijelaskan oleh Adams dan Gullota (1983), agama memberikan sebuah
kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya.
Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bisa membarikan penjelasan mengapa
dan untuk apa seseorang berada di dunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa
aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya,
keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau
pada masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir
simbolik Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa
remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam
tentang Tuhan.
Perkembangan
pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh
perkembangan kognitifnya. Oleh sebab itu, meskipun pada masa awal anak-anak ia
telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja
mereka mengalami kemajuan pada perkembangan kognitif, mereka mungkin
mempertanyakan tentang kebenaran, keyakinan agama mereka sendiri.
Dalam teri tentang perkembangan yang terkenal adalah
teori theory of faith dari James Fowler. Dalam toeri ini, Fowler mengusulkan enem tahap
perkembangan agama yang dihubungkan dengan teori-teori perkembangan Erikson,
Piaget, Kohlberg.
TABEL 7.3
Tahap Perkembangan Agama Menurut Teori Fowler[4]
Tahap
|
Usia
|
Karakteristik
|
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Tahap 4
Tahap 5
Tahap 6
|
Awal masa anak-anak
Akhir masa anak-anak
Awal masa remaja
Akhir masa remaja
dan awal masa dewasa
Pertengahan masa dewasa
Akhir masa
|
1. Gambaran intuitif dari
kebaikan dan kejahatan
2. Fantasi dan kenyataan
adalah sama
1. Pemikiran lebih logis
dan konkrit
2. Kisah-kisah agama
diinterpretasikan secara harfiah, Tuhan digambarkan seperti figure orang tua
1. Pemikiran lebih abstrak
2. Menyesuiakan diri dengan
keyakinan agama orang lain
1. Untuk pertama kali
individu mampu memikul tanggung jawab penuh terhadap keyakinan agama mereka
2. Menjelajahi kedalaman
pengalaman nilai-nilai dan keyakinan
agama seseorang
1. Lebih terbuka terhadap
pandangan-pandangan paradoks dan bertentangan
2. Berasal dari kesadaran
akan keterbatasan dan pembatasan seseorang
1. System kepercayaan
transendental untuk dewasa mencapai perasaan ketuhanan
2. Peristiwa-peristiwa
konflik tidak selamanya dipandang sebagai paradok
|
C.
Urgensi Penerapan
Pendidikan Agama dan Moral Terhadap Anak dalam Keluarga
Pendidikan agama merupakan pendidikan
dasar yang harus diberikan kepada anak sejak dini ketika masih muda. Hal tersebut
mengingat bahwa pribadi anak pada usia kanak-kanak masih muda untuk dibentuk
dan anak didik masih banyak berada di bawah pengaruh lingkungan rumah tangga.
Mengingat arti strategis lembaga keluarga tersebut, maka pendidikan agama yang
merupakan pendidikan dasar itu harus dimulai dari rumah tangga oleh orang tua.
Pendidikan agama dan spiritual
termasuk bidang-bidang pendidikan yang harus mendapat perhatian penuh oleh
keluarga terhadap anak-anaknya. Pendidikan agama dan spiritual ini berarti
membangkitkan kekuatan dan kesediaan spiritual yang bersifat naluri yang ada
pada kanak-kanak. Demikian pula, memberikan kepada anak bekal pengetahuan agama
dan nilai-nilai budaya Islam yang sesuai dengan umurnya sehingga dapat
menolongnya kepada pengembangan sikap agama yang betul.
Inti pendidikan agama sesungguhnya
adalah penanaman iman kedalam jiwa anak didik, dan untuk pelaksanaan hal itu
secara maksimal hanya dapat dilaksanakan dalam rumah tangga. Harun Nasution
menyebutkan bahwa pendidikan agama, dalam arti pendidikan dasar dan konsep
Islam adalah pendidikan moral. Pendidikan budi pekerti luhur yang berdasarkan
agama inilah yang harus dimulai oleh ibu-bapak di lingkungan rumah tangga.
Disinilah harus dimulai pembinaan kebiasaan-kebiasaan yang baik dalam diri anak
didik. Lingkungan rumah
tanggalah yang dapat membina pendidikan ini, karena anak yang berusia muda dan
kecil itu lebih banyak berada di lingkungan rumah tangga daripada di luar.
Tugas lingkungan rumah dalam hal
pendidikan moral itu penting sekali, bukan hanya karena usia kecil dan muda
anak didik serta besarnya pengaruh rumah tangga, tetapi karena pendidikan moral
dalam sistem pendidikan kita pada umumnya belum mendapatkan tempat yang
sewajarnya. Pendidikan formal di Indonesia masih lebih banyak mengambil bentuk
pengisian otak anak didik dalam pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan untuk
masa depannya, sehingga penanaman nilai-nilai moral belum menjadi skala
prioritas. Oleh sebab itu, tugas ini lebih banyak dibebankan pada keluarga atau
rumah tangga. Jika rumah tangga tidak menjalankan tugas tersebut sebagaimana
mestinya, maka moral dalam masyarakat kita akan menghadapi krisis.
Dari segi kegunaan, pendidikan agama
dalam rumah tangga berfungsi sebagai berikut: pertama, penanaman nilai
dalam arti pandangan hidup yang kelak mewarnai perkembangan jasmani dan
akalnya, kedua, penanaman sikap yang kelak menjadi basis dalam
menghargai guru dan pengetahuan di sekolah.[5]
Barangkali ada orang yang sering
berbicara tentang pendidikan sementara pandangannya tertuju secara khusus
kepada sekolah. Pendidikan lebih luas dari sekedar sekolah. Memang sekolah
merupakan suatu lembaga yang mengkhususkan diri untuk kegiatan pendidikan,
namun tidak dipungkiri bahwa sekolah menerima anak setelah anak ini melalui
berbagai pengalaman dan memperoleh banyak pola tingkah laku dan keterampilan
dalam rumah tangga.
Dalam kehidupan masyarakat primitif,
keluarga menjalankan proses pengembangan sosial anak dengan memperkenalkan
berbagai keterampilan, kebiasaan dan nilai-nilai moral yang berlaku dalam
kehidupan komunitas. Karena kehidupan masyarakat primitif masih sederhana, baik
dalam anasir-anasir maupun isinya, maka pola-pola pendidikannya pun masih
sangat sederhana. Sejalan dengan perkembangan sejarah dan kompleknya kehidupan,
terjadi perubahan besar terhadap masyarakat. Implikasinya, anak-anak mengalami
kesulitan untuk belajar dengan sekedar meniru. Dari situ muncul kebutuhan akan
suatu lembaga khusus yang membantu keluarga dalam mendidik anak-anak dan memelihara
kelangsungan hidup komunitas.
Demikianlah, keluarga pernah dan
masih tetap merupakan tempat pendidikan pertama, tempat anak berinteraksi dan
menerima kehidupan emosional. Individu dewasa ini menghadapi arus informasi dan
budaya modern yang mesti disikapi. Kesalahan utama yang dilakukan budaya modern
yang berpijak pada budaya barat adalah lahirnya pandangan bahwa segala yang
bersumber dari barat diserap dan dianggap sebagai ciri kemodernan.
Persoalan kenakalan remaja yang
sering menjadi buah bibir dan bahan diskusi berbagai kalangan merupakan salah
satu tema yang merupakan implikasi dari salah kaprah terhadap makna modernitas.
Berkumpulnya remaja-remaja yang menyebabkan terganggunya orang-orang yang ada
di sekelilingnya, tindakan-tindakan seperti minum minuman keras, menelan
obat-obat terlarang, pemuasan nafsu seksual.
Bekal pendidikan agama yang diperoleh
anak dari lingkungan keluarga akan memberinya kemampuan untuk mengambil haluan
di tengah-tengah kemajuan yang demikian pesat. Keluarga muslim merupakan
keluarga-keluarga yang mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dalam
mendidik generasi-generasinya untuk mampu terhindar dari berbagai bentuk
tindakan yang menyimpang. Oleh sebab itu, perbaikan pola pendidikan anak dalam
keluarga merupakan sebuah keharusan dan membutuhkan perhatian yang serius.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
tujuan utama dari pendidikan dalam keluarga adalah penanaman iman dan moral
terhadap diri anak. Untuk pencapaian tujuan tersebut maka keluarga itu sendiri
dituntut untuk memiliki pola pembinaan terencana terhadap anak. Di antara pola
pembinaan terstruktur tersebut: (1) memberi suri tauladan yang baik bagi
anak-anak dalam berpegang teguh kepada ajaran-ajaran agama dan akhlak yang
mulia; (2) menyediakan bagi anak-anak peluang-peluang dan suasana praktis di
mana mereka mempraktekkan akhlak yang mulia yang diterima dari orang tuanya;
(3) memberi tanggung jawab yang sesuai kepada anak-anak supaya mereka merasa
bebas memilih dalam tindak-tanduknya (4) menjaga mereka dari pergaulan
teman-teman yang menyeleweng dan tempat-tempat yang dapat menimbulkan kerusakan
moral.
Pembinaan anak secara terencana
seperti yang disebutkan di atas, akan memudahkan orang tua untuk mancapai
keberhasilan pendidikan yang diharapkan.
Dalam kaitannya dengan pendidikan
anak dalam keluarga, dapat memberikan implikasi-implikasi sebagai berikut:
1.
Anak memiliki pengetahuan
dasar-dasar keagamaan.
Kenyataan membuktikan bahwa anak-anak
yang semasa kecilnya terbiasa dengan kehidupan keagamaan dalam keluarga, akan
memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan kepribadian anak pada
fase-fase selanjutnya. Oleh karena itu, sejak dini anak seharusnya dibiasakan
dalam praktek-praktek ibadah dalam rumah tangga seperti ikut shalat jamaah
bersama dengan orang tua atau ikut serta ke mesjid untuk menjalankan ibadah,
mendengarkan khutbah atau ceramah-ceramah keagamaan dan kegiatan religius
lainnya.
Apabila latihan-latihan keagamaan diterapkan pada waktu anak masih kecil
dalam keluarga dengan cara yang kaku atau tidak benar, maka ketika menginjak
usia dewasa nanti akan cenderung kurang peduli terhadap agama atau kurang
merasakan pentingnya agama bagi dirinya. Sebaliknya, semakin banyak si anak
mendapatkan latihan-latihan keagamaan sewaktu kecil, maka pada saat ia dewasa
akan semakin marasakan kebutuhannya kepada agama. Dengan demikian,
agama tidak hanya dipelajari dan diketahui saja, tetapi juga dihayati dan
diamalkan dengan konsisten.
2.
Anak memiliki pengetahuan dasar akhlak.
Keluarga merupakan penanaman utama dasar-dasar akhlak bagi anak, yang
biasanya bercermin dalam sikap dan prilaku orang tua sebagai teladan yang dapat
dicontoh anak. Dalam hubungan ini, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa rasa
cinta, rasa bersatu dan lain-lain perasaan dan keadaan jiwa yang pada umumnya
sangat berfaedah untuk berlangsungnya pendidikan, teristimewa pendidikan budi
pekerti, terdapat dalam kehidupan keluarga dengan sifat yang kuat dan murni,
sehingga pusat-pusat pendidikan lainnya tidak dapat menyamainya.
Pendidikan agama sangat terkait dengan pendidikan akhlak (moral). Tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa pendidikan akhlak dalam pengertian islam adalah
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama. Hal tersebut karena
agama selalu menjadi parameter, sehingga yang baik adalah yang dianggap baik
oleh agama dan yang buruk adalah yang dianggap buruk oleh agama. Oleh
sebab itu, tujuan tertinggi pendidikan islam adalah mendidik jiwa dan akhlak.
3.
Anak memiliki pengetahuan dasar sosial.
Anak adalah generasi penerus yang di masa
depannya akan menjadi anggota masyarakat secara penuh dan mandiri. Oleh karena
itu seorang anak sejak kecil harus sudah mulai belajar bermasyarakat, agar
nantinya dia dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang dapat menjalankan
fungsi-fungsi sosialnya. Orang tua harus menyadari bahwa dirinya merupakan
lapisan mikro dari masyarakat, sehingga sejak awal orang tua sudah menyiapkan
anaknya untuk mengadakan hubungan sosial yang di dalamnya akan terjadi proses
saling mempengaruhi satu sama lain.
Lingkungan sosial yang
pertama bagi anak ialah rumah. Di sanalah terdapat hubungan yang pertama antara
anak dengan orang-orang yang mengurusnya. Hubungan diwujudkan dengan air muka,
gerak-gerik dan suara. Karena hubungan ini, anak belajar memahami gerak-gerik
dan air muka orang lain. Hal ini penting sekali artinya untuk perkembangan
selanjutnya. Air muka dan gerak-gerik itu memegang peranan penting dalam
hubungan sosial. Kemudian alat hubungan kedua yang penting yang mula-mula
dipelajari di rumah adalah bahasa. Dengan bahasa, anak itu mendapat hubungan
yang lebih baik dengan orang-orang yang serumah dengannya. Sebaliknya anak
dapat pula berkata yang tidak senonoh atau mencaci maki dengan menggunakan
bahasa pula.
Sebagai akibat dari
pengalaman sosialnya, anak yang sedang berkembang menerima sejumlah besar ilmu
tentang dunia dan bagaimana dunia beroperasi. Ia juga akan mengembangkan
nilai-nilai tentang bagaimana ia harus berinteraksi dengan dunia itu. Pendidikan informal adalah semua
pengajaran dan pelajaran yang dilakukan atau dialami manusia sepanjang hidupnya.
Dengan demikian, terlihat
betapa besar tanggung jawab orang tua terhadap anak. Bagi seorang anak,
keluarga merupakan persekutuan hidup pada lingkungan keluarga tempat di mana ia
menjadi pribadi atau diri sendiri. Selain itu, keluarga juga merupakan wadah
bagi anak dalam konteks proses belajarnya untuk mengembangkan dan membentuk
diri dan fungsi sosialnya. Di samping itu, keluarga merupakan tempat belajar bagi
anak dalam segala sikap untuk berbakti kepada Tuhan sebagai perwujudan hidup
yang tertinggi.
ANALISIS
Berdasarkan pembahasan
di atas dapat dianalisa bahwa:
1.
Penerapan pendidikan agama
terhadap anak dalam keluarga secara dini memiliki tingkat urgenitas yang sangat
besar. Hal tersebut mengingat bahwa peranan yang dimainkan oleh lembaga
pendidikan formal tidak mampu menggantikan posisi lembaga keluarga dalam
penanaman nilai-nilai moral keagamaan. Fenomena tersebut menempatkan pendidikan
dalam lembaga keluarga menempati posisi strategis. Dalam hal ini, lembaga
keluarga di samping menanamkan modal dasar bagi anak, juga melengkapi
kekurangan-kekurangan sistem pendidikan formal,
2.
Penerapan pendidikan agama
terhadap anak sangat berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan tingkah laku
anak. Pemberian modal-modal keagamaan dalam keluarga, secara garis besarnya
dapat melahirkan implikasi-implikasi sebagai berikut: (a) anak memiliki
pengetahuan dasar-dasar keagamaan, (b) anak memiliki pengetahuan dasar akhlak,
(c) anak memiliki pengetahuan dasar sosial. Pengetahuan-pengetahuan dasar
tersebut memiliki arti penting untuk pencapaian tujuan asasi dari pendidikan
Islam, yaitu penanaman iman dan akhlaqul karimah.
Mengingat besarnya
peranan yang dimainkan keluarga dalam penanaman nilai-nilai moral terhadap
anak, maka berikut ini penulis menawarkan beberapa saran sebagai berikut: (1)
perlu adanya kerjasama yang baik antara pihak lembaga pendidikan formal dengan
lembaga keluarga dalam membina para peserta didik. Terjadinya miskomunikasi
antara pihak pengelola lembaga pendidikan formal akan melahirkan model
pendidikan yang tidak terpadu. Fenomena seperti itu dengan sendirinya akan
berkonsekuensi terhadap lahirnya sikap saling menyalahkan antara pihak lembaga
pendidikan formal dengan pihak orang tua peserta didik. Sebaliknya, terjadi
komunikasi yang produktif antara kedua lembaga tersebut akan melahirkan
rumusan-rumusan dan pola-pola pembinaan terpadu, sehingga kekurangan-kekurangan
sistem kurikulum pendidikan formal akan diisi oleh orang tua peserta didik
dengan pembinaan-pembinaan yang saling mendukung keberhasilan peserta didik,
(2) mengingat besarnya peranan orang tua dalam penanaman nilai-nilai moral dan
keagamaan anak, maka pendidikan tidak hanya penting diterapkan kepada anak, akan
tetapi juga terhadap orang tua. Minimnya pengetahuan keagamaan orang tua juga
sangat mempengaruhi kualitas pembinaannya terhadap anak. Oleh sebab itu,
dipandang perlu untuk merumuskan pola-pola pembinaan orang tua secara terencana
oleh pihak pemerintah bekerjasama dengan pihak sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Alfinar. Psikologi Pendidikan. Departeman Agama
Republik Indonesia.
Jakarta. 2003.
Budiningsih, Asri. Pembelajaran Moral. PT. Rineka Cipta. Jakarta. 2004.
Mar’at, Samsunuwiati. Psikologi Perkembangan. PT. Remaja
Rosdakarya. Bandung.
2006.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. PT.
Remaja Rosdakarya. Bandung.
2007.
Zuria, Nurul. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif
Perubahan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
2007.
[1] Aziz Alfinar. Psikologi Pendidikan. Departeman Agama
Republik Indonesia.
Jakarta.
2003.hlm. 22-23
[2] Zuria Nurul. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif
Perubahan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
2007. hlm. 35
[3] Budiningsih Asri. Pembelajaran Moral. PT. Rineka Cipta. Jakarta. 2004. hlm. 29-31
[4] Mar’at Samsunuwiati. Psikologi Perkembangan. PT. Remaja
Rosdakarya. Bandung.
2006. hlm. 208-209
[5] Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. PT.
Remaja Rosdakarya. Bandung.
2007. hlm. 154-155
Tidak ada komentar:
Posting Komentar